*****TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN-KOMENTAR-JEMPOL-DAN-FOLLOW ANDA DI ARFAN BLOG™ MENEBAR ILMU MERAIH AMAL*****

Kamis, 29 November 2012

Biografi Ulama | Syaikh Abdullah bin Baz rahimahullah



Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abdullah bin Baz rahimahullah dilahirkan di kota Riyadh pada tanggal 12 Dzul Hijjah tahun 1330 H, dari keluarga yang sebagian besar kaum lelakinya bergelut dalam dunia keilmuan. Pada mulanya Syaikh-Abdul-Aziz-bin-Abdullah-bin-Baz-rahimahullah bisa melihat, kemudian pada tahun 1336 H, kedua matanya menderita sakit, dan mulai melemah hingga akhirnya pada bulan Muharram tahun 1350 kedua matanya mulai buta.

Pendidikannya lebih banyak tertuju pada pelajaran Al-Qur'an dan Hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Syaikh-Abdul-Aziz-bin-Abdullah-bin-Baz-rahimahullah tumbuh dalam peliharaan salah seorang keluarganya. Al-Qur'an merupakan pelita yang menerangi hidupnya, sehingga umurnya dipergunakan untuk menimba ilmu Al-Qur'an, dan beliau hafal Al-Qur'an secara menyeluruh ketika beliau masih kecil,belum mencapai usia baligh.

Syaikh-Abdul-Aziz-bin-Abdullah-bin-Baz-rahimahullah belajar ilmu-ilmu syar'i dari para ulama besar di Riyadh, seperti Syaikh Sa'd binb athiq dan Syaikh Hamd bin Faris dan Syaikh Sa'd bin Waqqash Al-Bukhari dan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh -semoga Allah merahmati mereka-, beliau terus menimba ilmu hingga mulai terpandang di kalangan para ulama.

Syaikh-Abdul-Aziz-bin-Abdullah-bin-Baz-rahimahullah pernah menjadi Qadhi mulai bulan Jumadats Tsaniah tahun 1357 hingga tahun 1371. Selanjutnya pada tahun 1372 Syaikh-Abdul-Aziz-bin-Abdullah-bin-Baz-rahimahullah mengajar di Ma'had Ilmi di Riyadh selama setahun kemudian pindah ke Fakultas Syariat di Riyadh mengajar Ilmu Fiqih, Tauhid dan Hadits selama tujuh tahun, semenjak didirikannya fakultas ini hingga tahun 1380.

Pada tahun 1381 Syaikh-Abdul-Aziz-bin-Abdullah-bin-Baz-rahimahullah ditunjuk menjadi wakil rektor Jamiah Islamiyah di Madinah Al Munawwarah, dan menempati posisinya tersebut hingga tahun 1390. Selanjutnya pada mulai tahun itu hingga tahun 1395 beliau menjadi rektor Jami'ah Islamiyah.

Pada tanggal 14/10/1395 terbit keputusan kerajaan yang menunjuk Syaikh-Abdul-Aziz-bin-Abdullah-bin-Baz-rahimahullah sebagai mufti besar (Semacam ketua MUI) untuk negara Saudi Arabia dan sebagai ketua ikatan para ulama serta ketua idarah buhuts ilmiyah wal ifta' yang setingkat dengan kedudukan mentri, hingga beliau meninggal.

Syaikh-Abdul-Aziz-bin-Abdullah-bin-Baz-rahimahullah juga banyak berkecimpung di berbagai lembaga dan majlis ilmiah islamiyah, di antaranya sebagai ketua ikatan para ulama, ketua majlis pendiri rabithah 'alam islamy, ketua lembaga internasional yang mengurusi masjid dan ketua mujamma' fiqhy islamy di Mekkah Al Mukarramah. Beliau juga sebagai anggota lembaga tinggi Jami'ah Islamiyah di Madinah Al Munawwarah, anggota lembaga tinggi dakwah Islam, anggota majlis syuro untuk WAMY (Ikatan Pemuda Islam Internasional) dan beberapa keanggotaan yang lain.

Syaikh-Abdul-Aziz-bin-Abdullah-bin-Baaz-rahimahullah juga beberapa kali mengetuai berbagai mu'tamar internasional yang diadakan di negara Saudi Arabia, yang merupakan sarana bagi beliau untuk saling tukar pendapat dan fikiran dengan beberapa ulama, da'i dan pemikir lainnya dari berbagai belahan dunia.

Meski Syaikh-Abdul-Aziz-bin-Abdullah-bin-Baz-rahimahullah disibukkan dengan berbagai kegiatan tersebut, beliau tidak lupa tugas utamanya sebagai seorang alim dan da'i. Syaikh-Abdul-Aziz-bin-Abdullah-bin-Baz-rahimahullah telah menulis berbagai karangan dan buku-buku, di antaranya: Al Fawa'id Al Jaliyyah fil Mabahits Al Fardhiyyah, At Tahqiq wal Idhah likatsir min masailil Hajj wal Umrah waz Ziyarah, At Tahdzir minal Bida', Ar Risalatanil Mujazatani fiz Zakat wash Shiyam, Al Akidatul Mujazah, Wujubul Amal Bisunnatir Rasul, Ad Da'wah Ilal-llaah, Shifatud Da'iyah, Wujubu Tahkimi Syar'illaahi. Hukmus Sufur Wal Hijab, Nikahus Syighar, Tsalatsu Rasail Fish Shalat, Hukmul Islam Fiiman Tha'ana fil Qur'an Aw Fii Rasulillah, Hasyiyah Mufidah Ala Fathil Bari, Iqamatul Barahin ala Hukmi Manista'ana Bighairillaah Aw Shaddaqal Kuhhan wal Arrafin, Al Jihad fii Sabilillah, Wujubu Luzumis Sunnah Wal Hadzru Minal Bid'ah, dan berbagaimacam fatwa-fatwa dan tulisan-tulisan lainnya.

Syaikh-Abdul-Aziz-bin-Abdullah-bin-Baz-rahimahullah juga mempunyai berbagai kegiatan dakwah dan kepedualian terhadap berbagai urusan orang-orang muslimin, di antaranya sumbangan beliau kepada berbagai yayasan-yayasan Islam dan lembaga-lembaga Islam lainnya yang ada di berbagai belahan dunia. Syaikh-Abdul-Aziz-bin-Abdullah-bin-Baz-rahimahullah juga sangat peduli dengan permasalahan tauhid dan berbagai kerancuan yang terjadi pada masyarakat muslim. Lebih khusus lagi, beliau sangat memperhatikan mengenai pangajaran hafalan Al-Qur'an dan senantiasa menganjurkan kepada berbagai lembaga untuk mengadakan program tahfidz A-Qur'an.

Syaikh-Abdul-Aziz-bin-Abdullah-bin-Baz-rahimahullah telah banyak memberikan berbagai pelajaran dan muhadharah Islamiyah untuk menanamkan pemahaman Islam yang benar kepada kaum muslimin. Syaikh-Abdul-Aziz-bin-Abdullah-bin-Baz-rahimahullah juga telah menulis berbagai makalah dalam majallah Al Buhuts Al Islamiyah.

Pada tahun 1402 Yayasan Sosial Malik Faishal menganugerahkan trophy Internasional Raja Faishal kepada beliau atas jasa-jasa beliau kepada Islam.

20 Bukti dan Tanda Cinta | Ibnu Qoyyim Al- Jauziyah

Oleh : Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah

Assalamu'alaykum warahmatullah wa barakatuh. Alhamdulillah, Segala Puji hanya milik Allah 'azza wa jalla, Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan dan tauladan kita Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,. Pembaca yang budiman berikut ini adalah 20 Bukti dan Tanda Cinta, terjemahan dari tulisan yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim Al- Jauziyah rahimahullah, silahkan dibaca, dan silahkan dikomentari. Semoga anda bisa memahami tulisan ini.

20 Bukti dan Tanda Cinta :
1. Menghujam Pandangan Mata,
2. Malu-malu jika orang yang dicintai memandangnya,
3. Banyak mengingat orang yang dicintai, membicarakan dan menyebut namanya,
4. Tunduk kepada orang yang dicintai dan mendahulukannya dari kepentingan dirinya sendiri,
5. Orang yang mencintai bersabar menghadapi gangguan orang yang dicintai,
6. Memperhatikan dan mendengarkan perkataan orang yang dicintai,
7. Mencintai tempat dan rumah orang yang dicintai,
8. Segera menghampiri orang yang dicintai,
9. Mencintai apapun yang dicintai orang yang dicintai,
10. Jalan terasa pendek sekalipun panjang saat mengunjungi orang yang dicintai,
11. Salah tingkah jika sedang dikunjungi atau mengunjungi orang yang dicintai,
12. Kaget dan gemetar takkala berhadapan dengan orang yang dicintai, atau mendengar namanya disebut, 13. Cemburu kepada orang yang dicintai,
14. Berkorban untuk mendapatkan keridhaan orang yang dicintai,
15. Menyenangi apa yang menyenangkan orang yang dicintai,
16. Suka menyendiri,
17. Tunduk dan patuh terhadap orang yang dicintai,
18. Helaan nafas yang panjang dan lebih kerap,
19. Menghindari hal-hal yang merenggangkan hubungan dengan orang yang dicintai dan tidak membuatnya marah,
20. Adanya kecocokan antara orang yang mencintai dan orang yang dicintai.


Itulah 20 Bukti dan Tanda Cinta, yang mungkin ada dalam setiap diri seorang manusia, dan kecintaan kita kepada Allah ta'ala dan Rasul_Nya-lah yang hakiki. Kecintaan kita kepada Allah dan Rasul_Nya adalah gambaran keimanan kita kepada Allah dan Rasul_Nya. Semoga Tulisan ini Bermanfaat dan menjadi pembendaharaan Ilmu kita. Kita berlindung kepada Allah 'azza wa jalla dari Godaan Syaithan la'natullah 'alaih.


Wassalamu'alaykum warahmatullah wa barakatuh.


Senin, 26 November 2012

Antara Ayah, Anak dan Burung Gagak




Pada suatu petang, seorang Ayah bersama Anak mudanya yang baru menamatkan pendidikan tinggi, duduk berbincang-bincang di halaman sambil memperhatikan suasana sekitar mereka.
Tiba-tiba seekor Burung Gagak hinggap di ranting pohon berhampiran. Si Ayah lalu menuding jari ke arah Gagak sambil bertanya.
"Nak, Apakah benda itu?"
"Burung Gagak", jawab si Anak.
Si Ayah mengangguk-angguk, namun sejurus kemudian mengulangi pertanyaan yang sama. Si Anak menyangka Ayahnya kurang mendengar jawabannya tadi, lalu menjawab dengan sedikit kuat,
"Itu Burung Gagak, Ayah!"
Tetapi sejurus kemudian si Ayah bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Si Anak merasa Agak keliru dan sedikit bingung dengan pertanyaan sama yang diulang-ulang, lalu menjawab denga lebik kuat,
"BURUNG GAGAK"!! Si Ayah terdiam seketika.
Namun tidak lama kemudian sang Ayah mengajukan pertanyaan yang serupa hingga membuat si Anak hilang kesabaran dan menjawab dengan nada yang kesal kepada si Ayah,
"ITU BURUNG GAGAK, Ayah".
Tetapi agak mengejutkan si Anak, karena si Ayah sekali lagi membuka mulut hanya untuk bertanya hal yang sama. Dan kali ini si Anak benar-benar hilang kesabaran dan menjadi marah.
"Ayah!!! Saya tak tahu Ayah paham atau tidak. Tapi sudah 5 kali Ayah bertanya hal tersebut dan saya telah memberikan jawabannya. Apa lagi yang Ayah mau saya katakan???? Itu Burung Gagak, Burung Gagak Ayah....", kata si Anak dengan dana begitu kesal (marah).
Si Ayah lalu berdiri dan menuju ke dalam rumahmeninggalkan si Anak yang kebingugan,
Sesaat kemudian si Ayah keluar lagi dengan sesuatu di tangannya. Dia mengulurkan benda itu kepada anaknya yang masih geram dan bertanya-tanya. Diperlihatkannya sebuah diary lama.
"Coba kau baca apa yang pernah Ayah tulis di dalam diary ini," pinta si Ayah.
Si Anak setuju dan membaca paragraf yang berikut.
"Hari ini aku di halaman melayani anakku yang genap berumur lima tahun. Tiba-tiba seekor Burung Gagak hinggap di pohon berhampiran. Anakku terus menunjuk ke arah Burung Gagak dan bertanya,
"Ayah, ada itu?"
dan aku menjawab
"Burung Gagak".
Walau bagaimanapun, anakku terus bertanya soal yang serupa dan setiap kali, aku menjawab dengan jawaban yang sama. Sehingga 25 kali Anakku bertanya demikian, dan demi rasa cinta dan sayangku, aku terus menjawab untuk memenuhi perasaan ingin tahunya. Aku berharap hal ini menjadi suatu pendidikan yang berharga untuk anakku kelak".
Setelah selesai membaca paragraf tersebut, si Anak mengangkat muka memandang wajah si Ayah yang kelihatan sayu. Si Ayah dengan perlahan bersuara,
"Hari ini Ayah baru bertanya kepadamu soal yang sama sebanyak lima kali, dan kau telah hilang kesabaran serta marah".
Lalu si Anak seketika itu juga menangis, menjatuhkan air matanya ke dinding pipinya, da memohon ampun atas apa yang telah ia perbuat.

Pesan:
Jagalah hati dan persaan kedua orangtuamu, hormatilah mereka. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangimu di waktu kecil. Kita sudah banyak mempelajari tuntunan Islam apalagi berkenaan dengan berbakti kepada orangtua. Tapi berapa banyak yang sudah dimengerti oleh kita, apalagi diamalkan???

Kaidah Memahami Sunnah (hadits)


Kaidah Memahami Sunnah (Hadits)

1. Memahami sunnah dengan tuntunan Al-Quran. 2. Mengumpulkan hadits-hadits yang satu tema dan pembahasan pada satu tempat. 3. Menggabungkan dan mentarjih diantara hadits-hadits yang bertentangan. 4. Mengetahui suatu Nasikh dan Mansukh hadits. 5. Mengetahui Asbabul-wurud suatu hadits. 6. Mengetahui kata-kata yang sulit difahami pada teks hadits. 7. Memahami sunnah sesuai dengan pemahaman SalafAsh-Shaleh. 8. Merujuk kitab-kitab syarah hadits.





Minggu, 25 November 2012

20 Langkah Praktis Agar Khusyu' Dalam Shalat



20 Langkah Praktis Agar Khusyu' Dalam Shalat

Oleh : Muhammad Thalib

1. Bila lapar, sebaiknya makan dulu. 2. Tidak menahan kentut, kencing, dan hajat (BAB). 3. Tidak mengantuk. 4. Berpakaian baik dan bersih. 5. Shalat saat hawa tidak panas. 6. Shalat pada awal waktu. 7. Pergi ke Masjid dengan tenang dan berdo'a. 8. Tempat shalat bersih dari kotoran. 9. Tempat shalat tidak bising. 10. Tempat shalat bersih dari gambar. 11. Tidak disibukkan oleh urusan duniawi. 12. Tidak tergesa-gesa dalam gerakan dan bacaan. 13. Menyadari bacaan yang diucapkan. 14. Ruku' dan Sujud dengan tenang. 15. Tidak menoleh ke kanan dan ke kiri (diperbolehkan menoleh ke kiri untuk meludah ketika ada gangguan Syaithan, waLlahu a'lam). 16. Melihat ke tempat sujud. 17. Tidak mengusap pasir/debu di tempat sujud. 18. Tidak menguap. 19. tidak meludah kecuali terpaksa. 20. Meluruskan dan merapatkan Shaf dalam shalat berjama'ah.






Sabtu, 17 November 2012

Seorang Pengemban Al-Quran

Seorang Pengemban Al-Quran seyogyanya diketahui di Malam hari, saat orang-orang terlelap tidur. Seorang Pengemban Al-Quran seyogyanya diketahui di Siang hari saat orang-orang tidak berpuasa. Seorang Pengemban Al-Quran seyogyanya diketehui dengan kesedihannya saat orang-orang bergembira. Seorang Pengemban Al-Quran seyogyanya diketehui dengan tangisnya saat orang-orang tertawa. Seorang Pengemban Al-Quran seyogyanya diketehui dengan diamnya saat orang-orang banyak bergaul. Seorang Pengemban Al-Quran seyogyanya diketehui dengan Khusyu'nya saat orang-orang dalam keadaan sibuk.

Seorang Pengemban Al-Quran seyogyanya banyak menangis, banyak bersedih, santun, bijaksana, 'alim dan banyak diam. Seorang Pengemban Al-Quran seyogyanya tidak kasar, tidak lalai, tidak suka berteriak, tidak suka bersuara keras, dan tidak berlidah tajam.

'Abdullah ibn Mas'ud

Rabu, 14 November 2012

Mulianya Bulan Muharram

Hari ini kita kembali memasuki Bulan Muharram 1434 Hijriah. Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat, semuanya berlalu silih berganti seiring dengan bergantinya siang dan malam. Selayaknya bagi kita untuk banyak bersyukur kepada Allah ‘azza wa jalla yang telah menganugerahkan kepada kita umur hingga kembali bertemu degan bulan yang mulia ini. Begitu pula, muhasabah (intropeksi diri) dan istighfar adalah penting dilakukan setiap Muslim. Mengapa? Ya, karena sebuah kepastian bahwa waktu yang telah berlalu tidak mungkin akan kembali lagi, sementara disadari atau tidak disadari, kematian akan datang sewaktu-waktu, bisa jadi ketika sedang atau selesai menulis Artikel ini, atau bahkan ketika anda sedang membaca Artikel ini, dan yang bermanfaat saat itu hanyalah amal Shalih kita.

Pembaca yang budiman kali ini saya ingin berbagi tulisan yang berkaitan dengan Bulan Muharram, silahkan dibaca.

Bulan Haram

Bulan Muharram, Sesungguhnya bulan Allah, Muharram merupakan bulan yang agung lagi penuh berkah. Muharram adalah awal bulan pada tahun Hijriyah dan termasuk salah satu dari bulan-bulan haram, firman Allah ‘azza wa jalla, yang Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah 12, dalam ketetapan Allah Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu”. (QS. At-Taubah : 36).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setahun terdiri dari 12 bulan di dalamnya terdapat 4 bulan, tiga diantaranya berurutan, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan ke-4 adalah Rajab yang diantarai oleh jumadil (awal dan tsani) dan Sya’ban”.(HR.Bukhari)

Adapun maksud dari: “Janganlah kamu menganiaya diri kamu”, berkata Qatadah rahimahullah: “Sesungguhnya kedzhaliman yang dikerjakan pada bulan-bulan haram lebih besar dosanya dibadingkan dengan di luar bulan-bulan haram, walaupun sebenarnya kedzhaliman di dalam segala hal dan keadaan merupakan dosa besar akan tetapi Allah ‘azza wa jalla senantiasa mengagungkan dan memuliakan dalam beberapa perkara/urusan menurut kehendaknya”. (Tafsir Ibnu Katsir surat At-Taubah:36).

Memperbanyak Puasa Sunnah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah Bulan Muharram”. (HR. Muslim)

Keutamaan Puasa ‘Asyura dan Tasu’ah

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ; “Saya tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan satu hari untuk berpuasa yang paling beliau utamakan dari selainnya, kecuali pada hari ini yakni hari ‘Asyura dan bulan ini yakni Ramadhan”. (HR. Bukhari)

‘Asyura adalah hari kesepuluh pada Bulan Muharram.

Pembaca yang budiman, kita juga disunnahkan untuk berpuasa pada hari sebelum ‘Asyura yaitu hari kesembilan pada Bulan Muharram atau biasa disebut dengan puasa tasu’a.

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma telah berkata: “ Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa, mereka berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya ‘Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang –orang Yahudi dan Nashrani, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pada tahun mendatang Insya Allah kita juga akan berpuasa pada hari kesembilan” dia ( Ibnu Abbas) berkata:”akan tetapi beliau telah wafat sebelum tahun depan”. (HR.Muslim)

Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan yang lainya berkata : Disunnahkannya berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat berpuasa pada hari kesembilan

Senin, 12 November 2012

Rukun Iman | Iman Kepada Para Malaikat Allah dan Kepada Kitab-Kitab Allah


Iman kepada para malaikat Allah.
Maksudnya kita wajib membenarkan bahwa para malaikat itu ada wujudnya dimana Allah Ta’ala menciptakan mereka dari cahaya. Mereka adalah makhluk dan hamba Allah yang selalu patuh dan beribadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

ومن عنده لا يستكبرون عن عبادته ولايستحسرون يسبحون الليل والنهار لايفترون

“Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.”(QS. Al-Anbiya`: 19-20)

Kita wajib mengimani secara rinci setiap malaikat yang kita ketahui namanya seperti Jibril, Mikail, dan Israfil. Adapun yang kita tidak ketahui namanya maka kita mengimani mereka secara global. Di antara bentuk beriman kepada mereka adalah mengimani setiap tugas dan amalan mereka yang tersebut dalam Al-Qur`an dan hadits yang shahih, seperti mengantar wahyu, menurunkan hujan, mencabut nyawa, dan seterusnya.

Iman kepada kitab-kitab Allah.
Yaitu kita mengimani bahwa seluruh kitab Allah adalah kalam-Nya, dan kalamullah bukanlah makhluk karena kalam merupakan sifat Allah dan sifat Allah bukanlah makhluk.
Kita juga wajib mengimani secara terperinci semua kitab yang namanya disebutkan dalam Al-Qur`an seperti taurat, injil, zabur, suhuf Ibrahim, dan suhuf Musa. Sementara yang tidak kita ketahui namanya maka kita mengimani secara global bahwa Allah Ta’ala mempunyai kitab lain selain daripada yang diterangkan kepada kita. Secara khusus tentang Al-Qur`an, kita wajib mengimani bahwa dia merupakan penghapus hukum dari semua kitab suci yang turun sebelumnya.

Kesehatan | Cara Mengetahui Kita Kekurangan Vitamin

Oleh    __ DR. Zuhair Qoromy
Editor __ Arfan

Terkadang kita kekurangan sebagian Vitamin, tetapi kita tidak menyadari kecuali setelah kesehatan menurun drastis dan semakin parah. Maka agar kita bisa mengetahui secara dini, apakah kita kekurangan vitamin ataukah tidak, berikut penjelasan yang perlu kita ketahui:
Jika menderita:
  • Radang terus menerus terutama pada bagian atas dari saluran pernafasan
  • Sariawan pada mulut
  • Penglihatan kabur di malam hari
  • Terkelupasnya kulit
Maka pada diri kita terdapat kekurangan vitamin A. Untuk menanggulanginya kita perlu mengkonsumsi makanan yang mengadung vitamin A, yaitu: Minyak hati ikan, keju, susu, tumbuh-tumbuhan hijau dan yang berwarna, seperti: bayam, wortel, sayur, kubis, tomat, kol, buah persik, jus jeruk.

Jika menderita:
  • Kekurusan yang berkepanjangan
  • Tidak mampu memusatkan fikiran
  • Bibir pecah-pecah
  • Merasa sakit terhadap cahaya
  • Terus menerus berdebar-debar
  • Tidak dapat tidur
Maka pada diri kita terdapat kekurangan vitamin B. Untuk mengatasi kondisi ini kita perlu mengkonsumsi bahan-bahan yang mengandung vitamin B, yaitu: Hati, daging, kuning telur, sayur-mayur: bayam, kubis dan wortel, kacang-kacangan, dan buah-buahan.

Jika menderita:
  • Sering kedinginan
  • Gusi berdarah
  • Luka yang tidak mudah tertutup
Maka pada diri kita terdapat kekurangan vitamin C, dan vitamin C terdapat pada: Hati, limpa, dan banyak terdapat pada makanan atau buah-buahan yang rasanya masam: Strawbery, lemon (jus lemon), jeruk (jus jeruk), buah-buahan seperti: Jambu, apel dan Sayur: Wortel putih dan tomat.

Jika menderita:
  • Rasa sakit pada persendian dan punggung
  • Kerontokan rambut
Maka pada diri kita terdapat kekurangan vitamin D, dan vitamin ini terdapat pada: Minyak hati ikan, kuning telur, bagian tertentu dari susu segar, dan sinar Matahari (terutama di pagi hari).

Jika menderita:
  • Kelelahan pada saat bekerja ringan
  • Kelambatan dalam kesembuhan luka
Maka pada diri kita terdapat kekurangan vitamin E, vitamin ini terdapat pada: Lalapan (sayur-sayuran segar yang dikonsumsi mentah) seperti: kubis, kemangi, kecambah dan sejenisnya, minyak buah kapas, minyak jagung, dan tepung gandum.

Semoga bermanfaat, dan Allah 'azza wa jalla memberikan kesehatan lahir dan batin kepada kita semua. Amin

Minggu, 11 November 2012

Mengapa Bangsa Arab Dahulu Memberi Nama Jelek Kepada Anaknya?

Dulu Bangsa Arab menamakan anaknya dengan nama-nama yang buruk, seperti nama-nama benda mati atau hewan, baik yang jinak maupun yang liar. Ats-Tsa'labi telah menyusun dalam kitabnya Fiqhul Lughah sebuah pasal khusus tentang penamaan Bangsa Arab dengan nama-nama yang buruk. Dia berkata: "Itu termasuk kebiasaan Bangsa Arab, yaitu menamakan anak-anaknya dengan Hajar (batu), Kalb (anjing), Namir (macan tutul), Dzi'b (serigala), Asad (singa), dan semacamnya". (1/73)
Dia berkata:"Jika dilahirkan untuk mereka seorang anak, mereka menamainya dengan apa yang mereka lihat dan dengar dari segala sesuatu yang dengannya dia berharap nasib baik. Jika dia melihat sebuah batu (Hajar) atau mendengarnya (Jatuh) maka dia menafsirkannya dengan ketegasan, kekerasan, kesabaran dan ketenangan. Jika dia melihat seekor anjing (Kalb), dia menafsirkannya dengan penjagaannya, kesetiaannya (loyalitas), dan jauhnya suara. Jika dia melihat seekor macan tutul (Namir) dia menafsirkannya dengan keperkasaan. Jika dia melihat seekor serigala (Dzi'b), dia menafsirkannya dengan kewibawaan, kekuatan, dan kehormatan".(1/86)

Sebagian orang Syu'ubiyah berkata kepada Ibnul Kalabi: "Mengapa Bangsa Arab menamakan anak-anak mereka dengan Kalb (anjing), atau Aus (anjing hutan), atau Asad (singa) dan semacamnya, serta menamakan budak-budaknya dengan Yusran (mudah), Sa'ad (bahagia), dan Yumnu (untung)?". Maka dia menjawab: "Mereka menamakan anak-anak mereka seperti itu untuk (menakuti) musuh-musuh mereka. Dan menamakan budak-budaknya seperti itu untuk (keperluan) diri mereka sendiri. Dimaksudkan bahwa Bangsa Arab menamakan anak-anak mereka dengan nama-nama binatang buas adalah untuk melontarkan rasa takut pada musuh-musuh mereka. Sementara menamakan budak-budak mereka dengan nama-nama yang lembut sebagai bentuk harapan akan nasib baik dan keberkahan, dikarenakan mereka akan mengutus budak-budak tersebut untuk berbagai keperluan mereka. Maka mereka pun menamakan budak-budak mereka dengan nama-nama tumbuhan,  nama-nama bunga seperti Yasmin (melati), dan juga dengan nama-nama burung seperti Shaqr (rajawali), 'Uqab (elang), 'Ikrimah (merpati betina), dan Ushfur (burung pipit).

Doa Masuk dan Keluar Masjid

Dari Abu Humaid atau dari Abu Usaid dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ

“jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka hendaknya dia membaca, “ALLAAHUMMAFTAH LII ABWAABA RAHMATIKA (Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu).” Dan apabila keluar, hendaknya dia mengucapkan, “ALLAAHUMMA INNII AS`ALUKA MIN FADHLIKA (Ya Allah, aku meminta kurnia-Mu).” (HR. Muslim no. 713)

Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
أَنَّهُ كَانَ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ قَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيمِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ. قَالَ: أَقَطْ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: فَإِذَا قَالَ ذَلِكَ, قَالَ الشَّيْطَانُ: حُفِظَ مِنِّي سَائِرَ الْيَوْمِ

“Bahwasanya beliau apabila masuk ke masjid maka beliau membaca, “AUDZU BILLAHIL AZHIM WA BI WAJHIHIL KARIM WA SULTHANIHIL QADIM MINASY SYAITHANIR RAJIM (aku berlindung kepada Allah yang Maha Agung dan dengan Wajah-Nya yang Maha Mulia dan dengan kekuasaan-Nya yang Qadim (dahulu tidak ada awalnya), dari gangguan setan yang terkutuk).” Dia bertanya (Abdullah bin Amr), “Apakah itu saja?” Aku menjawab (Uqbah bin Muslim), “Ya!” Dia (Abdullah bin Amr) kemudian meneruskan, “Barangsiapa membaca itu, maka setan akan berkata kepadanya, “Dia terjaga dariku sehari ini penuh.” (HR. Abu Daud no. 466 dan sanadnya dinyatakan hasan oleh Ibnu Baz dalam At-Tuhfah hal. 30)


Penjelasan ringkas:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mensyariatkan beberapa dzikir yang hendaknya dibaca oleh seorang muslim ketika dia akan masuk dan keluar dari masjid. Pada dzikir tersebut terkandung permintaan rahmat dan keutamaan dari Allah, serta dzikir tersebut bisa menjaga orang yang shalat dari kejelekan setan-setan, dengan izin Allah. Disunnahkan seseorang masuk masjid dengan menggunakan kaki kanan dan keluar dengan kaki kiri.

Adab | Larangan Keluar Masjid Setelah Adzan

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata pada Bab Larangan-Larangan Dalam Masjid: Tidak halal keluar dari masjid setelah adzan. “Ada seorang lelaki yang pernah keluar dari masjid setelah adzan ashar dikumandangkan, maka Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, “Adapun orang ini, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abu Al-Qasim shallallahu alaihi wa alihi wasallam.”
Hadits ini berasal dari riwayat Abu Hurairah radhiallahu anhu sendiri. Dan hadits ini mempunyai dua jalan darinya:
Pertama: Dari Abu Asy-Sya’tsa` dia berkata …, lalu dia menyebutkan hadits di atas.

Diriwayatkan oleh Muslim (2/124), Abu Daud (1/89), An-Nasai (1/111), At-Tirmizi (1/397), Ad-Darimi (1/274), Ibnu Majah (1/248), dan Ahmad (2/410, 416, 471, 506) dari jalan Ibrahim bin Al-Muhajir, Asy’ats bin Abi Asy-Sya’tsa` dan Al-Muharibi dari Abu Asy-Sya’tsa`. At-Tirmizi berkata -dan ini adalah lafazhnya-, “Hadits hasan shahih.”
Lafazh tambahan dalam hadits di atas terdapat dalam riwayat At-Tirmizi, Abu Daud, dan salah satu riwayat Ahmad.
Kemudian, Ahmad juga meriwayatkannya (2/537) dari jalan Syarik dari Asy’ats dengan sanad di atas tapi dengan lafazh tambahan, “Kemudian Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kami, “Jika kalian berada di dalam masjid sementara adzan dikumandangkan, maka jangan salah seorang di antara kalian keluar sampai dia mengerjakan shalat.”
Al-Mundziri berkata (1/115), “Diriwayatkan oleh Ahmad dan sanadnya shahih.”
Al-Haitsami berkata (1/5), “Semua perawinya adalah perawi kitab Ash-Shahih.”
Saya berkata: Hadits ini dengan lafazh tambahan ini tidaklah shahih, karena Syarik bersendiri dalam menambahkan lafazh ini dan dia bukanlah perawi yang kuat ketika dia bersendirian, sebagaimana yang dikatakan oleh Ad-Daraquthni. Dalam At-Taqrib disebutkan, “Jujur tapi sering salah hafal.”
Ditambah lagi, dia bukanlah perawi yang riwayatnya dijadikan dalil utama oleh Al-Bukhari dan tidak pula Muslim. Muslim hanya meriwayatkan haditsnya sebagai pendukung, sebagaimana yang ditegaskan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan. Karenanya, ucapan Al-Haitsami bahwa semua perawinya adalah perawi kitab Ash-Shahih tidaklah benar. Karena ucapannya ini mengesankan bahwa riwayat setiap perawi di dalamnya telah dijadikan dalil utama di dalam kitab Ash-Shahih, padahal tidak demikian kenyataannya. Walaupun sebenarnya juga hadits yang marfu’ dari jalan lain dari Abu Hurairah sebagaimana yang akan disebutkan. Hanya saja saya pribadi belum mendapatkan sanadnya sehingga belum bisa dihukumi apakah haditsnya bisa digunakan sebagai pendukung atau tidak. Akan tetapi lahiriah ucapan Al-Mundziri dan Al-Haitsami menunjukkan bahwa riwayat itu kuat, sebagaimana yang akan kamu lihat nanti.

Kedua: Dari Abu Saleh dari Abu Hurairah bahwasanya dia melihat seorang lelaki …, sampai akhir hadits tanpa ada lafazh tambahan di atas.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Ash-Shaghir (hal. 168) dia berkata: Muhammad bin Al-Madini -Fastaqah- Al-Baghdadi menceritakan kepada kami dia berkata: Suraij bin Yunus menceritakan kepada kami dia berkata: Abu Hafsh Al-Abaar menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Hajadah dari Abu Saleh. Ath-Thabrani berkata, “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Muhammad bin Hajadah kecuali Abu Hafsh Al-Abaar.”
Saya berkata: Abu Hafsh ini adalah perawi yang tsiqah lagi hafizh, dan namanya adalah Umar bin Abdirrahman. Sementara perawi lainnya dalam sanad adalah tsiqah dan merupakan perawi Al-Bukhari dan Muslim kecuali Fastaqah ini. Fastaqah adalah gelarnya, sementara namanya adalah Muhammad bin Ali bin Al-Fadhl Abu Al-Abbas. Dia adalah perawi yang tsiqah, wafat pada tahun 289 H, sebagaimana yang disebutkan dalam Tarikh Baghdad (3/64). Karenanya, sanadnya shahih.
Asy-Syaukani mengkritisi hadits ini dengan mengatakan (2/138), “Di dalam sanadnya terdapat Ibrahim bin Al-Muhajir, ada yang menyatakannya sebagai perawi tsiqah dan ada juga yang menyatakannya sebagai perawi yang dha’if.”
Kelihatannya Asy-Syaukani tidak mengetahui kalau Ibrahim telah didukung oleh Asy’ats bin Abi Asy-Sya’tsa`, dan dia adalah perawi yang tsiqah.
Kemudian, lahiriah hadits Abu Hurairah di atas adalah mauquf, akan tetapi hukumnya adalah hadits marfu’ menurut mayoritas ulama. Al-Mundziri berkata dalam Mukhtashar Sunan Abi Daud (1/287-288 no. 503), “Sebagian ulama ada yang mengatakan kalau hadits ini mauquf. Abu Umar An-Namari bahwa hadits ini musnad (baca: marfu’) menurut mereka. Dan Abu Umar berkata, “Mereka tidak berbeda pendapat bahwa hadits ini dan hadits itu keduanya adalah musnad lagi marfu’.” Maksudnya: Ucapan Abu Hurairah dalam hadits ini dengan ucapan Abu Hurairah dalam hadits, “Barangsiapa yang tidak menghadiri -yakni: undangan- maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Al-Hafizh berkata (2/96), “Ath-Thabrani meriwayatkan hadits ini dalam Al-Ausath dari jalan Said bin Al-Musayyab dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dimana Abu Hurairah menegaskan bahwa hadits ini diucapkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dan dengan konteks pengkhususan (pada masjid Nabawi, pent.). Lafazhnya adalah, “Tidak ada seorangpun yang mendengarkan adzan di masjidku kemudian dia keluar darinya -kecuali jika ada keperluan- kemudian tidak kembali lagi kecuali seorang munafik.”
Saya berkata: Al-Mundziri berkata dalam At-Targhib, “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Ausath dan semua perawinya dijadikan hujjah dalam kitab Ash-Shahih.” Dan senada dengannya dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma’.
Saya berkata: Hadits ini mempunyai pendukung dari hadits Utsman bin Affan secara marfu’ dengan lafazh, “Siapa yang mendengar adzan sementara dia berada di dalam masjid kemudian dia keluar darinya -dan dia tidak keluar karena ada keperluan- dan tidak akan kembali lagi maka dia seorang munafik.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1/249) dari Abdul Jabbar bin Umar dari [Ibnu] Abi Farwah dari Muhammad bin Yusuf maula Utsman bin Affan dari ayahnya dari Utsman.
Dalam Az-Zawaid disebutkan, “Sanadnya dha’if karena di dalam sanadnya terdapat Ibnu Abi Farwah yang bernama Ishaq bin Abdillah. Para ulama menghukuminya sebagai perawi yang dha’if, dan demikian halnya keadaan Abdul Jabbar bin Umar.”
Hadits ini mempunyai pendukung lain berupa hadits mursal. Diriwayatkan oleh Ad-Darimi (1/118) dari jalan Abdurrahman bin Harmalah dia berkata, “Ada seorang lelaki yang mendatangi Said bin Al-Musayyab untuk mengucapkan selamat tinggak ketika Said akan berangkat haji atau umrah. Maka Said berkata kepadanya, “Jangan kamu keluar masjid sampai kamu shalat. Karena sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada yang keluar dari masjid setelah adzan kecuali seorang munafik, kecuali jika seseorang keluar karena adanya keperluan dan dia berniat akan kembali lagi ke masjid tersebut.” Lelaki tersebut lalu berkata, “Teman-temanku berada di Hurrah,” maka lelaki itu pun keluar (masjid setelah adzan, pent.). Maka senantias Said menyebutkan tentang lelaki itu sampai dikabarkan kepadanya bahwa lelaki itu terjatuh dari hewan tunggangannya hingga pahanya patah.”
Ini adalah sanad yang hasan, semua perawinya adalah perawi Muslim. Hanya saja Muslim hanya meriwayatkan hadits Abdurrahman sebagai pendukung, sebagaimana dalam Tahdzib At-Tahdzib. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/213) mengira bahwa Muslim meriwayatkan haditsnya sebagai hadits pokok, sementara pada tempat yang lain (1/210) dia sendiri menyebutkan bahwa Abdurrahman ini termasuk dari perawi Al-Bukhari. Maka ini termasuk dari kekeliruannya yang juga disetujui oleh Adz-Dzahabi.
Hadits mursal ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf dari jalan ini, sebagaimana dalam Nashbu Ar-Rayah (2/155). Dan Al-Mundziri menisbatkan periwayatannya kepada Abu Daud dalam Al-Marasil, dan hadits ini terdapat dalam Mukhtashar Sunan Abi Daud (no. 6).
Asy-Syaukani berkata, “Kedua hadits ini menunjukkan haramnya keluar dari masjid setelah mendengarkan adzan sampai dia mengerjakan shalat waktu itu di masjid tersebut. Kecuali kalau tujuannya keluar adalan untuk berwudhu, atau buang air, atau keperluan lain yang memang dibutuhkan. Karena masjid itu sudah harus dipakai untuk mengerjakan shalat saat itu. At-Tirmizi berkata setelah menyebutkan hadits ini, “Inilah yang diamalkan oleh para ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam dan sepeninggal mereka, yaitu: Tidak boleh ada seorang pun yang keluar dari masjid [setelah adzan] kecuali karena ada udzur, misalnya: Dia belum berwudhu atau untuk mengerjakan sesuatu yang penting. Diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakhai bahwa dia berkata, “Dia boleh keluar selama muadzdzin belum mengumandangkan iqamah.” Ucapan Ibrahim ini menurut kami hanya berlaku bagi orang yang mempunyai udzur untuk keluar dari masjid.” Selesai
Ibnu Raslan berkata dalam Syarh As-Sunan, “Keluar dari masjid (setelah adzan, pent.) adalah makruh menurut seluruh ulama jika keluarnya bukan karena udzur untuk bersuci atau yang semacamnya. Jika memang ada udzur maka boleh keluar dan tidak makruh.” Al-Qurthubi berkata, “Ini diarahkan kepada makna bahwa hadits ini adalah hadits yang marfu’ kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan dalil penisbatan Abu Hurairah kepada beliau. Seakan-akan Abu Hurairah pernah mendengar sabda Nabi yang menunjukkan haramnya keluar dari masjid setelah adzan. Karenanya dia menggunakan lafazh maksiat untuk menghukumi amalan tersebut.”
Saya berkata: Karenanya, hadits ini merupakan dalil akan haramnya amalan tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syaukani dan Ibnu Hazm (3/147) sebelumnya. Ibnu Hazm berkata, “Siapa yang berada di dalam masjid lalu adzan dikumandangkan maka tidak halal baginya untuk keluar masjid, kecuali jika dia belum berwudhu atau ada keperluan dia harus keluar.”
Sementara pendapat yang hanya memakruhkan amalan ini bertentangan dengan lahiriah hadits.
Hukum haram ini berlaku jika tidak ada udzur. Adapun jika ada udzur maka dia boleh keluar masjid. Wallohu a'lam

Hadits | Larangan Meludah dan Jual Beli Dalam Masjid


Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ فَقَامَ فَحَكَّهُ بِيَدِهِ فَقَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلَاتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ أَوْ إِنَّ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ فَلَا يَبْزُقَنَّ أَحَدُكُمْ قِبَلَ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمَيْهِ ثُمَّ أَخَذَ طَرَفَ رِدَائِهِ فَبَصَقَ فِيهِ ثُمَّ رَدَّ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَقَالَ أَوْ يَفْعَلُ هَكَذَا
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat ada dahak di dinding kiblat, maka beliau merasa jengkel hingga nampak tersirat pada wajahnya. Kemudian
beliau menggosoknya dengan tangannya seraya bersabda, “Jika seseorang dari kalian berdiri shalat maka sesungguhnya dia sedang berhadapan dengan Rabbnya, atau sesungguhnya Rabbnya berada antara dia dan kiblat. Maka janganlah dia meludah ke arah kiblat, tetapi hendaknya dia membuang dahaknya ke arah kirinya atau di bawah kedua kakinya.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memegang tepi kainnya dan meludah di dalamnya, setelah itu beliau mengosokkannya kepada bagian kainnya yang lain, lalu beliau bersabda, “Atau hendaknya dia melakukan seperti ini.” (HR. Al-Bukhari no. 507 dan Muslim no. 550)

Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا
“Meludah di dalam masjid adalah suatu kesalahan, dan kaffarahnya (penghapus dosanya) adalah menimbunnya.” (HR. Al-Bukhari no. 511 dan Muslim no. 552)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَنْشُدُ فِيهِ ضَالَّةً فَقُولُوا لَا رَدَّ اللَّهُ عَلَيْكَ

“Jika kalian melihat orang membeli atau menjual di dalam masjid, maka katakanlah, “Semoga Allah tidak memberi keuntungan kepada barang daganganmu.” Jika kalian melihat orang yang mencari sesuatu yang hilang di dalamnya maka katakanlah, “Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu.” (HR. At-Tirmizi no. 1321 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 573)

Penjelasan ringkas:

Tujuan masjid dibangun hanyalah untuk  shalat, zikir, dan beribadah kepada Allah. Dan dia merupakan bagian bumi yang paling Allah cintai. Karenanya ketika seorang berada di dalam masjid maka dia diharuskan untuk beradab dengan adab-adab islami yang telah dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan di antara adab tersebut adalah Nabi -alaihishshalatu wassalam- memerintahkan agar menyucikan masjid dari semua perkara yang tidak berhubungan dengan tujuan dia dibangun, misalnya membuang kotoran dan berjual beli di dalamnya.

Berikut beberapa masalah yang dipetik dari hadits-hadits di atas secara berurut:

1.    Tingginya kecemburuan Nabi -alaihishshalatu wassalam- kepada agama Allah, dimana beliau tidak merasa nyaman ketika ada kotoran yang terdapat dalam masjid.
2.    Wajib bagi seorang imam masjid untuk mengingkari kemungkaran yang terjadi di dalam masjid yang dia imami, karena itu termasuk dalam lingkup tanggung jawabnya.
3.    Dalam hadits ini, Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah mengumpulkan ketiga jenis nahi mungkar: Dengan hati beliau tatkala beliau jengkel dan tidak senang dengannya, dengan lisan tatkala beliau menasehati dan melarang para sahabat, dan dengan tangan tatkala beliau membersihkan sendiri dahak yang ada di masjid. Dan beliau juga mengumpulkan dua jenis pengajaran: Dengan teori dan dengan praktek.
4.    Hukum meludah ke arah kiblat di dalam shalat adalah haram berdasarkan larangan Nabi -alaihishshalatu wassalam-, “Maka janganlah dia meludah ke arah kiblat.” Karena hukum asal larangan adalah haram kecuali ada dalil yang memalingkan hukumnya.
5.    Sudah menjadi kaidah tetap dalam syariat Islam, bahwa tatkala Islam melarang dari suatu amalan -padahal amalan itu dibutuhkan oleh kaum muslimin-, maka dia akan mensyariatkan amalan lain yang mirip dengannya tanpa melanggar syariat yang lainnya. Dalam hal ini, tatkala seorang yang shalat terkadang butuh meludah atau membuang dahak sementara Islam melarang untuk membuangnya ke arah kiblat, maka Islam menuntunkan amalan lain yang syar’i tanpa melarang mereka melakukan hal yang terkadang mereka butuhkan tersebut, yaitu membuang ludah atau dahak ke arah kirinya atau di bawah kedua kakinya atau membuangnya ke pakaiannya lalu menggosoknya.
6.    Kiblat termasuk syariat Allah yang terbesar, karenanya dia harus dimuliakan dengan tidak membuang kotoran -apalagi najis- ke arahnya. Karenanya dimakruhkan untuk buang air besar dan kecil menghadap ke kiblat.
7.    Membuang ludah dan dahak ke arah kiri atau di bawah pakaiannya hanya berlaku jika seseorang itu shalat di luar masjid dan tidak ada orang yang sedang shalat di sebelah kirinya. Adapun jika dia shalat di dalam masjid maka tidak boleh dia meludah ke arah kiri -berdasarkan hadits Anas yang kedua di atas-  dan tidak boleh juga di bawah kakinya karena dia tidak akan bisa menimbunnya, mengingat hampir seluruh masjid kaum muslimin di zaman ini sudah memakai tegel atau yang semacamnya sehingga tidak mungkin bagi dia untuk menimbunnya. Demikian pula jika dia membuangnya ke arah kirinya sementara ada orang di sebelah kirinya maka itu berarti membuang kotoran ke arah saudaranya, dan ini juga tidak diperbolehkan.
8.    Karenanya, larangan membuang dahak dan ludah ke arah kiblat di luar masjid dan tidak sedang shalat adalah mubah dan tidak makruh. Wallahu a’lam.
9.    Larangan berjual beli di dalam masjid.
10.    Disyariatkan bagi orang yang melihatnya untuk mendoakannya dengan doa yang ma`tsur di atas.
11.    Jual beli yang dimaksud di sini adalah akad jual beli. Karenanya:

a.    Jika ada dua orang yang melakukan akad di dalam masjid walaupun barangnya belum ada dan pembayaran juga belum dilakukan, maka ini termasuk dalam larangan karena keduanyta telah melakukan jual beli di dalam masjid.
b.    Menitipkan atau menerima titipan uang atau barang dagangan di dalam masjid adalah boleh, karena itu bukanlah jual beli.
c.    Membayar utang di dalam masjid tidak mengapa karena utang piutang bukanlah jual beli. Misalnya ada dua orang yang melakukan akad di luar masjid, barangnya sudah diambil akan tetapi bayarnya besok dan dilakukan di dalam masjid. Maka ini insya Allah tidak mengapa karena pembayaran ini adalah pelunasan utang dan bukan jual beli. Demikian pula sebaliknya jika pembayarannya dilakukan di luar masjid lalu penyerahan barangnya besok di dalam masjid. Contoh lain adalah seseorang memfoto kopi materi taklim dengan uangnya sendiri lalu dia membagi-bagikannya di dalam masjid lalu menerima pembayaran dari yang mengambil materi tersebut. Maka ini juga adalah transaksi pembayaran hutang dan bukan jual beli, selama orang tersebut tidak mengambil keuntungan dari ongkos foto kopinya. Jika dia mengambil keuntungan maka itu termasuk transaksi jual beli dalam masjid yang terlarang. Wallahu a’lam
12.    Larangan mencari barang yang hilang di dalam masjid, dan batasan masjid juga bisa dilihat pada link di atas.
13.    Juga dilarang mengumumkan barang yang hilang di dalam masjid walaupun dia tidak mencarinya di dalam masjid.
14.    Disyariatkan bagi yang melihat atau mendengar orang yang mencari atau mengumumkan barang hilang di dalam masjid untuk mendoakannya dengan doa yang ma`tsur di atas.

Sabtu, 10 November 2012

Hukum Membaca Al-Fatihah Dalam Shalat

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata sebagaimana dalam Taysir Al-Ali Al-Qadir Ikhtishar Tafsir Ibni Katsir hal. 8-9:
Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat:
1.    Wajib membaca. Yakni: Wajib membaca Al-Fatihah bagi imam, makmum, dan yang shalat sendiri.
Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits yang datang dalam permasalahan ini seperti: 

لاَ صَلاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفاتِحَةِ الْكِتابِ
“Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Al-Fatihah.”
مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ غَيْرُ تَمَامٍ
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat apa saja yang dia tidak membaca Al-Fatihah di dalamnya maka shalatnya itu cacat, tidak sempurna.”
لاَ تَجْزِئُ صَلاةٌ لاَ يُقْرَأُ فِيْها بِأُمِّ الْقُرْآنِ
“Tidak syah shalat yang di dalamnya tidak dibaca surah Al-Fatihah.”
Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i rahimahullah.

2.    Makmum tidak wajib membaca apa-apa sama sekali, baik itu Al-Fatihah maupun surah lainnya, baik itu pada shalat jahriah maupun shalat sirriah.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal rahimahullah dalam kitabnya Al-Musnad dari Jabir bin Abdillah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:

مَنْ كانَ لَهُ إمامٌ, فَقِرَاءَةُ الإمامِ لَهُ قِراءَةٌ

“Barangsiapa yang mempunyai (baca: bermakmum kepada seorang) imam, maka bacaan imam adalah bacaan dia juga.”
Akan tetapi pada sanadnya ada kelemahan. Malik juga meriwayatkannya dari Wahb bin Kaisan dari Jabir tapi dari ucapan beliau (baca: secara mauquf). Hadits ini telah diriwayatkan dari beberapa jalan, akan tetapi tidak ada satu pun di antaranya yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Wallahu A’lam

3.    Makmum wajib membaca Al-Fatihah pada shalat sirriah dan dia tidak wajib membacanya pada shalat jahriah.
Hal ini berdasarkan hadits yang tsabit dalam Shahih Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إنَّما جُعِلَ الإمامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ: فَإِذا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإذا قَرَأَ فَأَنْصِتًوا

“Tidaklah imam itu diangkat kecuali untuk diikuti: Karenanya jika dia bertakbir maka bertakbirlah kalian, dan jika dia membaca maka diamlah kalian …” -lalu Ibnu Katsir menyebutkan kelanjutan haditsnya-.
Demikian pula diriwayatkan oleh para penulis kitab As-Sunan, yaitu: Abu Daud, At-Tirmizi, An-Nasai, dan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:

 وَإذا قَرَأَ فَأَنْصِتًوا
“Dan jika dia membaca maka diamlah kalian.”
Hadits Abu Hurairah ini juga telah dinyatakan shahih oleh Muslim bin Al-Hajjaj. Maka kedua hadits ini menunjukkan benarnya pendapat ini, dan ini merupakan pendapat lama dari Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala.

Fatwa | Hukum Melanggar Peraturan Lalu Lintas

Soal:
Bagaimana hukum Islam terhadap seseorang yang melanggar peraturan lalu lintas, semisal dia melanggar lampu lintas ketika berwarna merah?

Jawab:
Tidak bolah ada seorang muslim pun yang melanggar peraturan negara dalam hal lalu lintas, karena perbuatan itu akan menyebabkan timbulnya bahaya yang besar bagi dirinya dan pengguna jalan lainnya. Negara (baca: pemerintah) -semoga Allah memberikan taufiq kepadanya- tidaklah membuat aturan - aturan ini kecuali sebagai bentuk usaha dalam mewujudkan maslahat bersama bagi kaum muslimin dan untuk mencegah mudharat menimpa mereka.
Karenanya, tidak boleh ada seorang pun yang melanggar aturan-aturan tersebut. Pihak yang berwenang boleh menjatuhkan hukuman kepada orang yang melanggar, dengan hukuman yang bisa membuat orang itu dan semacamnya jera untuk mengulangi pelanggarannya. Karena Allah Subhanahu terkadang menertibkan melalui pemerintah dan hasilnya terkadang lebih baik daripada langsung dengan Al-Qur`an. Hal itu karena kebanyakan orang tidak takut melanggar aturan dari Al-Qur`an dan sunnah, akan tetapi mereka justru takut melanggar aturan pemerintah dikarenakan adanya beraneka ragam hukuman. Dan hal itu tidak lain kecuali dikarenakan minimnya keimanan mereka kepada Allah dan hari akhir atau bahkan keimanan itu tidak ada pada kebanyakan makhluk. Sebagaimana firman Allah Subhanahu:

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS. Yusuf: 103)
Kita meminta kepada Allah hidayah dan taufik untuk kita seluruhnya.
(Fatawa Islamiah Ibnu Baaz: 4/536)

Sahabat Periwayat Hadits Terbanyak

Tahukah anda nama-nama sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang paling banyak meriwayatkan hadits? Dan tahukah anda berapa jumlah hadits yang telah mereka riwayatkan?
Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin rahimahullah berkata dalam Al-Muntaqa min Fara`id Al-Fawa`id hal. 157-158:
Para sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits:
  1. Abu Hurairah radhiallahu anhu, beliau meriwayatkan 5374 hadits.
  2. Aisyah radhiallahu anha, beliau meriwayatkan 2210 hadits.
  3. Anas bin Malik radhiallahu anhu, beliau meriwayatkan 2286 hadits.
  4. Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma, beliau meriwayatkan 6160 hadits[1].
  5. Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, beliau meriwayatkan 2630 hadits.
  6. Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma, beliau meriwayatkan 1540 hadits.
  7. Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu, beliau meriwayatkan 1170 hadits.
  8. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, beliau meriwayatkan 848 hadits.
  9. Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma, beliau meriwayatkan 700 hadits.
Adapun ucapan Abu Hurairah:

ما كانَ أَحَدٌ مِنْ أَصْحابِ رسولِ اللهِ صلَّى الله عليه وسلم أَكْثَرَ حَدِيْثاً مِنِّي. إلاَّ ما كانَ مِنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو, فَإِنَّهُ كانَ يَكْتُبُ وَلاَ أَكْتُبُ

“Tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang lebih banyak haditsnya daripada saya. Kecuali Abdullah bin Amr, karena dia menulis haditsnya sementara saya tidak menulisnya.”

Maka jawabannya adalah bahwa pengecualian dalam kalimat di atas sifatnya munqathi’ (tidak berhubungan dengan kalimat sebelumnya). Maksudnya: Pengecualiannya kembali kepada kalimat setelahnya, yaitu bahwa Abdullah bin Amr menulis sementara Abu Hurairah tidak menulis.

Dengan ini nampak perbedaan yang mencolk antara jumlah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dengan Abdullah bin Amr radhiallahu anhum.

Atau dikatakan: Karena Abu Hurairah menetap di Madinah dan banyak orang yang mendatangi Madinah untuk mencari hadits, sehingga hadits yang diambil dari Abu Hurairah lebih banyak daripada hadits yang diambil dari Abdullah bin Amr. Karena Abdullah bin Amr lama menetap di Mesir dan daerah Tha`if, sementara perjalanan mencari hadits ke daerah tersebut lebih sedikit dibandingkan perjalanan mencari hadits menuju Madinah. Karenanya periwayatan dari Abdullah bin Amr sedikit, wallahu A’lam.

[1] Demikian yang tertulis, dan mungkin yang benarnya adalah 1.660 hadits, wallahu a’lam

Kesalahan-Kesalahan Dalam Berdoa

1. Mengangkat kedua tangan setelah sholat-sholat wajib.
Hal ini termasuk dalam kategori bid’ah jika dilakukan secara terus menerus oleh pelakunya. Yang merupakan sunnah setelah sholat-sholat wajib adalah berdzikir dengan beristighfar, tahlil, tasbih, tahmid, takbir serta berdo’a dengan do’a-do’a yang warid (dalam sunnah) tanpa mengangkat kedua tangan. Inilah yang selalu dilakukan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan beliau tidak pernah mengangkat kedua tangan beliau dalam berdo’a setelah sholat-sholat wajib. Maka perbuatan ini hendaknya tidak dikerjakan karena menyelisihi sunnah dan komitmen (membiasakan) dengannya adalah bid’ah.
2. Mengangkat (baca: menengadahkan) kedua tangan di tengah-tengah sholat wajib.
Seperti orang yang mengangkat kedua tangannya ketika bangkit dari ruku’ seakan-akan dia sedang qunut, dan yang semisal dengannya. Hal ini termasuk dari perbuatan-perbuatan yang tidak disebutkan dalam sunnah dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, tidak pernah dikerjakan oleh para khalifah (yang empat) dan tidak pula oleh para sahabat, dan perbuatan apa saja yang seperti ini sifatnya maka dia termasuk ke dalam sabda beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

 ”Barangsiapa yang memunculkan perkara baru dalam perkara (agama) kami ini, yang perkara ini bukan bagian darinya (agama) maka dia tertolak”. Muttafaqun ‘alaihi
Dan dalam riwayat Muslim.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contohnya pada urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak”.

3. Melalaikan kekhusyukan dan konsentrasi ketika berdo’a.
Allah -Ta’ala- berfirman:
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً

“Berdo`alah kepada Rabb kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut”. (QS. Al-A’raf: 55)
Dan Allah -Ta’ala- juga berfirman:
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo`a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada Kami. “ (QS. Al-Anbiya`: 90)
Maka orang yang berdo’a sudah sepantasnya untuk khusyu’, merendah, tunduk, dan berkonsentrasi, inilah adab-adab dalam berdo’a. Orang yang berdo’a tentunya bersemangat agar permintaannya diberikan dan dipenuhi keinginannya, maka sudah sepantasnya kalau dia juga bersemangat untuk menyempurnakan dan memperindah do’anya untuk diangkat ke hadapan Penciptanya sehingga do’anya bisa dikabulkan.
Imam Ahmad telah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang dihasankan oleh Al-Mundziry dari ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا سَأَلْتُمُ اللهَ فَاسْأَلُوْهُ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالْإِجَابَةِ, فَإِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَجِيْبُ لِعَبْدٍ دَعَاهُ عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ غَافِلٍ

“Jika kalian meminta sesuatu kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dalam keadaan kamu yakin akan dikabulkan. Karena sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan (permintaan) seorang hamba yang berdo’a kepada-Nya dengan hati yang lalai”.

4. Putus asa dari dikabulkannya do’a dan terlalu tergesa-gesa ingin dikabulkan.Perbuatan ini termasuk penghalang-penghalang dikabulkannya do’a, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Muslim bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

يُسْتَجَابُ أَحَدُكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ, يَقُوْلُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي

“Akan dikabulkan do’a salah seorang di antara kalian sepanjang dia tidak tergesa-gesa (dalam berdo’a), dia mengatakan, “Saya sudah berdo’a tapi belum dikabulkan”.
Dan telah kita terangkan bahwa orang yang berdo’a hendaknya yakin do’anya akan dikabulkan, karena dia sedang berdo’a kepada Yang Maha Pemurah dan Maha Baik. Allah -Ta’ala- berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Dan Rabbmu berfirman: “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan bagi kalian”. (QS. Ghafir: 60)

Dan barangsiapa yang tidak dikabulkan permintaannya maka dia tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama: Ada penghalang yang menghalangi dikabulkannya do’a, misalnya: do’anya untuk memutuskan silaturahim atau untuk kesewenang-wenangan atau karena dia (orang yang berdo’a) telah memakan makanan yang haram. Maka hal ini kebanyakannya menghalangi dikabulkannya do’a.
Kedua: Pengabulan do’anya diundurkan atau dia diselamatkan dari kejelekan yang semisalnya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudry -radhiallahu ‘anhu-, bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيْهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيْعَةُ رَحْمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ, وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ, وَإِمَّا أَنْ يُصْرَفَ عَنْهُ مِنَ السُّوْءِ مِثْلِهَا. قَالُوْا: إِذَنْ نُكْثِرَ, قَالَ: اللهُ أَكْثَرُ

“Tidak ada seorang muslim pun yang berdo’a dengan sebuah do’a yang tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturahmi, kecuali Allah akan memberinya salah satu dari tiga perkara: Akan dipercepat pengabulan do’anya, atau akan dipersiapkan (disimpan) untuknya di akhirat, atau dihindarkan dia dari bahaya yang semisal dengannya”. Mereka (para sahabat) berkata, “Kalau begitu kami akan memperbanyak (do’a)”. Beliau menjawab, “Allah lebih banyak (pemberiannya)”. Riwayat Ahmad dan Abu Ya’la dengan sanad yang jayyid, dan haditsnya shohih dengan beberapa pendukung: dari ‘Ubadah bin Ash-Shomit riwayat At-Tirmidzy dan Al-Hakim, dan juga dari Abu Hurairah riwayat Ahmad dan selainnya.
Adapun hadits yang diriwayatkan (dengan lafadz):
اِسْأَلُوْا بِجَاهِيْ, فَإِنَّ جَاهِيْ عِنْدَ اللهِ عَظِيْمٌ

 ”Mintalah kalian (kepada Allah) dengan menggunakan kedudukanku, karena sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangatlah besar”.
Maka ini adalah hadits yang palsu, tidak shohih penisbatannya kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.

5. Melampaui batas dalam berdo’a, misalnya dia berdo’a untuk suatu dosa atau untuk memutuskan silaturahmi.
Ini termasuk penghalang dikabulkannya do’a, dan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda:
سَيَكُوْنُ قَوْمٌ يَعْتَدُوْنَ فِي الدُّعَاءِ

“Kelak akan ada kaum yang melampaui batas dalam berdo’a”. Riwayat Ahmad, Abu Daud, dan selain keduanya, dan hadits ini hasan.
Allah -Ta’ala- berfirman:
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdo`alah kepada Rabb kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al-A’raf: 55)
Dan di antara bentuk melampaui batas dalam berdo’a adalah berdo’a untuk suatu dosa atau untuk memutus silaturahmi, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzy dan selainnya dari ‘Ubadah bin Ash-Shomit -radhiallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَا عَلَى الْأَرْضِ مُسْلِمٌ يَدْعُو اللهَ بِدَعْوَةٍ إِلاَّ آتَاهُ اللهُ إِيَّاهَا, أَوْ صَرَفَ عَنْهُ مِنَ السُّوْءِ مِثْلِهَا, مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيْعَةِ رَحْمٍ

“Tidak ada seorang pun muslim di muka bumi ini yang berdo’a kepada Allah dengan sebuah do’a kecuali Allah akan mengabulkannya atau Allah akan hindarkan dia dari kejelekan yang semisalnya. Sepanjang dia tidak berdo’a untuk sebuah dosa atau untuk memutuskan silaturahmi”. sampai akhir hadits, dan haditsnya hasan.

[Diterjemah dari Al-Minzhar hal. 41-43 karya Asy-Syaikh Saleh Alu Asy-Syaikh]
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...